Indonesia masih dilanda pandemi COVID-19. Terhitung sudah 2 bulan sejak pemerintah memberlakukan kebijakan physical dan social distancing untuk menekan angka kasus positif corona di Indonesia. Beberapa minggu terakhir ini juga pemeritah pusat sudah menyetujui kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diajukan oleh pemerintah daerah yang secara kebijakan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan physical dan social distancing yang telah diterapkan sebelumnya. Yang membedakan PSBB dengan kebijakan sebelumnya terletak pada adanya payung hukum berupa PP No 21 Tahun 2020 yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dan aparat untuk menindak tegas pelanggar PSBB. Namun nampaknya kebijakan yang telah diambil belum menunjukkan efek yang signifikan dalam menekan pandemi COVID-19 ini. Data per hari ini menunjukkan peningkatan kasus masih terjadi dengan jumlah kasus terbanyak masih dipegang oleh DKI Jakarta.
Buntut dari pandemi yang dinamai COVID-19 ini tidak hanya hilangnya nyawa manusia, namun kalau kita ingin menggali lebih dalam lagi ternyata banyak sekali persoalan-persoalan yang tersingkap dengan adanya wabah ini. Yang paling terasa tentunya adalah koreksi ekonomi yang diprediksi turun drastis bahkan dalam skenario terburuk negatif hingga jumlah pengangguran dan masyarakat miskin yang bertambah. Mungkin beberapa dari kita sudah jenuh mendengar atau melihat berita-berita akibat COVID-19 ini yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi psikologi kita. Namun menggolongkan masalah merupakan langkah awal dalam memitigasi masalah untuk kemudian dicari solusinya.
Peran kunci dalam penanganan COVID-19 menurut penulis hanya ada 2, pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah, TNI, POLRI dan berbagai lembaga turunannya serta masyarakat. Kedua-duanya harus menjalankan perannya masing-masing secara KOMPAK dan KONSISTEN. Peran besarnya tentunya dipegang oleh pemerintah selaku regulator dan pemangku kebijakan. Masyarakat juga harus menjadi pendukung setia dari pemerintahan dan menjalankan kebijakan secara kompak dan konsisten. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing peran belum menjalankan perannya dengan maksimal.
Respon pemerintah pusat di awal pun sudah sangat terlambat bahkan terkesan menyepelekan, belum lagi ego sektoral baik di tingkat kementrian hingga pemerintah daerah yang seperti tidak ada koordinasi dan jalur komando yang jelas. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat seperti tak karuan, dimulai dari wacana pemberlakuan darurat sipil, PP PSBB yang dinilai tidak terlalu detail, PP Karantina Wilayah yang sampai sekarang belum ada, tarik ulur pelarangan mudik, hingga ketidak singkronan peraturan mentri. Itu baru ditingkat pemerintah pusat, belum lagi di tingkat daerah dengan berbagai permasalahannya mulai dari kesiapan infrastruktur kesehatan seperti kekurangan APD dan ventilator, hingga lonjakan kasus positif akibat perantau yang sudah terlanjur mudik ke daerah karena aturan larangan mudik yang datangnya terlambat. Bahkan untuk larangan mudik saja masyarakat kebingungan karena pernyataan dari Presiden bahwa mudik itu berbeda dengan pulang kampung, hanya pulang kampung saja yang diperbolehkan. Kebingungan di tatanan teknis pun di alami oleh aparat penegak di DKI terkait penertiban ojol yang berdasarkan PERGUB dan PERMENKES dilarang untuk mengambil penumpang namun berdasarkan PERMENHUB ojol diperbolehkan mengambil penumpang dengan berbagai syarat. Belum lagi data yang kurang transparan dan adanya ketidak cocokan data antara data di daerah dan data di pusat mengenai ODP, PDP, dan pasien positif corona.
Melihat dari respon dan kebijakan yang diambil pemerintah yang lebih memilih PSBB daripada karantina wilayah, sepertinya memang pemerintah pusat lebih memikirkan cara menanggulangi dampak COVID-19 dari sisi ekonomi daripada kesehatan masyarakat. Sangat beralasan menurut penulis bahwa pemerintah pusat mengesampingkan opsi karantina wilayah atau lockdown sedari awal. Kalau kita lihat UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan bahwa karantina wilayah sepenuhnya adalah wewenang pemerintah pusat dan seperti yang tertulis di pasal 55 bahwa semua kebutuhan masyarakat di daerah yang terkena karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah. Dari sini penulis bisa melihat bahwa ongkos yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat menjadi membengkak, belum lagi stimulus-stimulus yang sudah digelontorkan untuk menopang ekonomi negara agar tidak terjun bebas.
Penulis masih mencoba untuk memahami kenapa pemerintah pusat sangat anti terhadap karantina wilayah atau lockdown. Mungkin jawabannya ialah kita belum siap. Belum siap dari segi apa?tentunya ekonomi. Kita atau pemerintah pusat tidak siap untuk kemungkinan terburuk ketika opsi karantina wilayah diambil yakni ekonomi akan langsung terhenti. Roda ekonomi Indonesia akan langsung minus mengingat parameter ekonomi Indonesia lebih besar ditopang oleh konsumsi domestik. Lihat saja ketika Idul Fitri tiba, daya beli masyarakat meningkat dan roda ekonomi menjadi lebih tinggi daripada quartal sebelum atau sesudah hari raya. Ketika roda ekonomi berhenti dan belum adanya jaring pengaman sosial yang memadai, yang terjadi kemungkinan besar adalah kekacauan. Tingkat pengangguran dan phk akan meningkat dan bisa jadi paralel dengan meningkatnya tingkat kejahatan terutama di ibu kota. Bukan tidak mungkin kerusuhan seperti krisis 1998 akan terjadi meskipun secara fundamental kondisi ekonomi kita berbeda dengan tahun 1998.
Keputusan pelarangan mudik yang terlambat juga penulis rasa sebagai tambahan waktu bagi masyarakat terutama masyarakat ibu kota yang sudah kehilangan pekerjaan dan hanya punya pilihan untuk pulang kampung (itu pun jikalau ada ongkos). Namun keterlambatan demi keterlambatan kebijakan (belum lagi yang saling tumpang tindih dan belum ada aturannya) harus dibayar sangat mahal oleh kita. Kalau kita lihat datanya sekarang, lonjakan kasus sudah terjadi di daerah. Kita lihat saja di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang terjadi peningkatan kasus yang cukup signifikan dan beberapa kasus ditemukan bahwa kasus positif merupakan perantau yang baru pulang dari Jakarta. Kalau belum ada kebijakan yang “radikal” dari pemerintah, pandemi ini bisa saja terjadi dalam beberapa gelombang dan akan butuh waktu yang sangat lama sampai kita bisa bangkit.
Faktanya di lapangan menunjukkan pemberlakuan PSBB masih belum efektif dalam menekan penyebaran COVID-19 ini. Masyarakat masih banyak yang entah belum paham atau enggan paham tentang protokol kesahatan penanggulangan COVID-19 ini. Masih banyak yang tidak menjaga jarak, tidak menggunakan masker, berkerumun, ngabuburit, atau bahkan ngotot mudik dengan menyamar sebagai kurir barang. Kemungkinan besar masyarakat nekat mudik karena sudah tidak punya penghasilan lagi di wilayah epicentrum dan mirisnya belum mendapatkan jaring pengaman sosial sebagai bantalan hidup mereka.
Penulis sangat mengerti sekali lagi kenapa kebijakan karantina wilayah atau lockdown sangat ingin dihindari dan lebih memilih PSBB. Kita lihat India yang memberlakukan lockdown nasional. Yang terjadi adalah kekacauan. Buktinya di lapangan banyak negara-negara yang berhasil menekan laju penyebaran virus ini dengan kebijakan pembatasan sosial ekstra ketat dan nampaknya Presiden berkaca kepada negara-negara tersebut. Korea dan Jepang berhasil menekan laju penyebaran tanpa lockdown pertama karena warganya mempunyai kedisiplinan yang tinggi dan rapid test yang masif sehingga dapat memetakan pola penyebaran. Ketika pola penyebaran sudah terlihat akan sangat memudahkan pihak terkait untuk melakukan pelacakan dan berdampak pada terkendalinya angka penyebaran virus. Di Taiwan roda ekonomi tetap berjalan tanpa adanya lockdown karena pemerintah sangat aktif mengontrol aktivitas warganya. Pemerintah Taiwan bahkan mengecek keberadaan warganya yang dalam pengawasan dengan menggunakan GPS dari smartphone warga yang di karantina. Ketika GPS bergerak dari tempat karantina, petugas akan datang mengecek dan menelepon orang tersebut untuk tetap tinggal di rumah. Denda bagi yang melanggar pun tak tanggung-tangung, hingga jutaan rupiah.
PSBB hanya akan berhasil jikalau adanya ketegasan dari pemerintah dan kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Pemerintah jangan takut atau bahkan pesimis untuk menindak warga yang melanggar. Jangan sampai ada bahasa seperti kemarin “Mau di larang pun masyarakat tetep mudik ko”. Premis seperti itu sangatlah tidak pas dikeluarkan oleh seorang pejabat publik yang merupakan pembuat kebijakan. Bagaimana aturan mau ditegakkan ketika pembuat kebijakannya sendiri ragu-ragu untuk bertindak. Pemerintah dan negara harus hadir dan terasa kehadirannya dengan menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Masyarakat harus sadar betul bahwa pandemi ini hanya akan cepat diatasi dengan mematuhi protokol kesehatan dan disiplin dalam menjalankannya.
Ada beberapa hal yang harus menjadi prioritas kita semua terutama pemerintah jikalau PSBB ini ingin berhasil menekan laju pandemi:
Manajemen data yang profesional dan transparan
Masih banyaknya data yang simpang siur terkait ODP, PDP, dan pasien positif corona baik di tingkat pusat maupun daerah. Pengelolaan data yang profesional dan transparan akan memudahkan para pihak terkait menganalisis dan memitigasi pandemi ini dengan cepat dan akurat. Big data is new oil. Data yang harus dibenahi juga mengenai orang yang terdampak langsung COVID-19 ini, baik yang di phk maupun masyarakat kecil yang penghasilannya berkurang ataupun menjadi hilang. Pendataan yang baik akan memudahkan pemerintah untuk menyalurkan bantuan langsung secara tepat guna dan tepat sasaran.
Percepat rapid test dan PCR secara masif
Salah satu kunci Korea Selatan dan Jepang bisa menekan laju pandemi karena test yang begitu masif sehingga pola penyebaran dapat terpetakan dengan baik dan memudahkan pihak terkait untuk melakukan pelacakan dengan cepat dan tepat. Permasalahan di Indonesia adalah reagen atau alat tes yang terbatas dan mahal karena harus impor dan lab pun terbatas untuk melakukan analisis reagen. Percepatan tes hanya bisa dilakukan jikalau kita bisa memproduksi reagen sendiri dan meng-upgrade kemampuan lab dalam menganalisis hasil reagen.
Intensifkan pelacakan dan penegakan hukum
Penulis belum begitu paham bagaimana metode dan siapa yang melakukan pelacakan dan penegakkan hukum terhadap masyarakat mengenai karantina kesehatan. Apakah pihak Kepolisian ataukah Kementrian Kesehatan?Namun kalau kita lihat dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan bahwa PNS Kementrian Kesehatan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan dan melakukan penindakan jikalau ada indikasi pelanggaran seperti yang tertulis dalam pasal 84 dan 85. Pelacakan yang intensif akan memperlambat penyebaran virus dengan langsung mengkarantina dan penegakan hukum akan membentuk kesadaran masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan.
Bangun kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan
Kenyataan di lapangan menunjukkan masyarakat masih banyak yang tidak menjalani protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Masih didapati orang-orang yang nekat mudik di saat sudah ada instruksi tentang pelarangan mudik sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Nampaknya masyarakat kita entah sangat bebal atau memang perlu pendekatan cara Orde Baru dimana pergerakan masyarakat harus dikontrol oleh militer agar disiplin?Salah satu kunci dalam membangun disiplin adalah adanya keterpaksaan. Kita lihat Singapura yang disebut sebagai negara denda. Ketika masyarakat takut untuk melakukan kesalahan maka kesadaran masyarakat akan terbentuk. Memang terdengar menakutkan tapi ketika tingkat kesadaran masyarakat sangat kurang, pemerintah tidak bisa hanya menyerahkan sepenuhnya ke tangan masyarakat tanpa kehadiran negara sebagai pembuat kebijakan dan penegakan hukum tentunya paralel dengan edukasi tanpa henti.
Sempurnakan jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak
Jaring pengaman sosial bukan hanya bentuk hadirnya negara tapi lebih dari itu sebagai “perpanjangan nafas” masyarakat ketika situasi sulit seperti ini, terutama masyarakat yang terdampak. Data yang berantakan berdampak pada ketidak tepatan dalam penyaluran bantuan langsung oleh pemerintah. Masih banyaknya warga yang belum mendapat bantuan dan seberapa berdampaknya bantuan langsung ini dalam mempermudah tekanan hidup masyarakat masih menjadi pertanyaan bagi penulis. Pandemi ini bukan hanya akan berlangsung 1-2 bulan tapi bisa lebih panjang dari itu, sudah siapkah pemerintah, baik pusat maupun daerah mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk menyempurnakan jaring pengaman sosial ini? Sudah tepat sasaran kah bantuan langsung yang diberikan?
Bangun kolaborasi lintas sektor
Ketika situasi sulit seperti ini kolaborasi dan kekompakan seluruh elemen masyarakat menjadi kunci keberhasilan negara dalam menangani krisis ini. Menyerahkan sepenuhnya ke pemerintah menurut penulis tidaklah bijak karena keterbatasan pemerintah dari segi sumber daya terutama dana yang terbatas. Masyarakat dan pihak swasta harus bahu membahu menekan laju penyebaran dengan berbagai cara, baik berdonasi maupun menjadi relawan. Subsidi silang bisa diterapkan untuk menambal kekurangan yang diperlukan untuk jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak dan pemenuhan APD bagi tenaga medis. Peran pemerintah harus betul-betul dijalankan di tingkatan terkecil, dimulai dari kecamatan, kelurahan, desa hingga RT dan RW. Efektifkan peran perangkat desa dan kelurahan untuk menjangkau masyarakat paling bawah terutama edukasi, pendataan, hingga penyaluran bantuan. Tekan semua ego sektoral apalagi ego elit-elit politik yang mencari kesempatan dalam kesempitan.
Kemandirian bangsa adalah kunci
Menjadi negara yang mandiri bukanlah sebuah jargon politik tapi kunci dalam keberlanjutan sebuah bangsa dan negara. Kita lihat sekarang ketika beberapa bahan baku kita tergantung kepada hasil impor maka kelangkaan akan terjadi ketika krisis seperti ini karena negara pengimpor tentunya akan lebih mementingkan ketersedian negaranya dahulu daripada mencari keuntungan lewat ekspor. Salah satu yang mempersulit kita dalam menekan pandemi ini karena ketergantungan kita untuk mengimpor reagen atau test kit dari luar negri yang harganya cukup mahal dan membutuhkan waktu dalam penyalurannya. BUMN kita dituntut untuk mandiri secara keilmuan dan teknologi agar bisa memproduksi alat tes hingga vaksin anti-virus. Kemandirian hendaklah dibangun dari entitas terkecil seperti kelurahan, desa, hingga tingkatan RT dan RW. Ketika tingkatan RT dan RW sudah bisa gotong royong saling bahu membahu minimal dalam penyediaan sumber daya pangan untuk menghadapi krisis seperti sekarang ini penulis yakin insya allah kita bisa melewati krisis ini dengan selamat.
Di satu sisi kita harus mengapresiasi langkah pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dengan paket-paket stimulusnya. Tapi sisi lain pemerintah harus sadar betul bahwa nyawa manusia berada di atas hitung-hitungan ekonomi. Tidak akan pernah ada suatu bangsa tanpa adanya penduduk atau masyarakat. Kembali ke pertanyaan awal, kapan pandemi akan berakhir?bisa lebih lama dari model-model yang sudah dibuat oleh pakar ketika semua lapisan, baik masyarakat, pemerintahan, aparat, hingga swasta bekerja sendiri-sendiri dan belum memaksimalkan peran, fungsi, dan posisinya. Tapi sebagai manusia yang berakal tentunya kita harus optimis bahwa kita bisa melewati ini terlepas dari cepat atau lambatnya pandemi bisa teratasi asalkan kita bersatu, berkolaborasi, bukan hanya sebagai bangsa tapi sebagai kesatuan berupa umat manusia yang diberi akal oleh Sang Pencipta untuk bisa bertahan dalam situasi apapun. Negara memanggil, satukan pikiran, satukan perbuatan, waktunya bergandengan tangan ketika negara membutuhkan.